Bab Al-Muanaqah (Berpelukan)
Bab Al-Mu’anaqah (Berpelukan) adalah bagian dari ceramah agama dan kajian Islam ilmiah dengan pembahasan kitab Al-Adabul Mufrad. Pembahasan ini disampaikan oleh Ustadz Dr. Syafiq Riza Basalamah, M.A. pada Senin, 5 Jumadil Awal 1447 H / 27 Oktober 2025 M.
Kajian Islam Tentang Bab Al-Mu’anaqah (Berpelukan)
Mu’anaqah lebih erat dibandingkan cipika-cipiki (pipi bertemu pipi), dan lebih menunjukkan kedekatan serta keakraban. Setelah pembahasan tentang Bab Al-Musafahah (bab berjabat tangan), pembahasan mengenai Bab Al-Mu’anaqah ini akan menjelaskan bahwa seorang diizinkan atau dianjurkan untuk memeluk saudaranya, serta kapan dan bagaimana pelukan itu dilakukan.
Seorang sahabat pernah bertanya kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, mengenai pertemuan dengan orang lain. Pertanyaannya adalah apakah dia merunduk. Nabi menjawab dengan, “Tidak.” Adapun adab yang dilakukan adalah berjabatan tangan, itulah adab yang baik.
Bab Al-Mu’anaqah atau berpelukan ini biasanya dilakukan ketika mereka pulang dari safar (perjalanan jauh) atau setelah lama tidak berjumpa.
Perjalanan Jabir bin Abdillah untuk Satu Hadits
Dari Jabir bin Abdillah Radhiyallahu ‘Anhu, dia berkata: “Telah sampai kepadanya sebuah hadits dari seorang sahabat Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Maka aku pun membeli seekor unta, dan aku siapkan pelanaku untuknya selama sebulan perjalanan, hingga aku tiba di Syam. Ternyata dia adalah Abdullah bin Unais.
Maka aku utus seseorang kepadanya (menyampaikan pesan): ‘Sesungguhnya Jabir berada di pintu.’ Kemudian utusan itu kembali dan berkata: ‘Apakah Jabir bin Abdillah?’ Aku berkata: ‘Ya, benar.’
Maka dia (Abdullah bin Unais) pun keluar dan memelukku.
Aku berkata: ‘Ada sebuah hadits yang sampai kepadaku darimu, bahwasanya engkau mendengarnya dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tentang kezaliman. Aku khawatir aku akan meninggal atau engkau meninggal sebelum aku mendengarnya.’
Maka dia berkata: ‘Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
يَحْشُرُ اللَّهُ الْعِبَادَ – أَوْ النَّاسَ – عُرَاةً غُرْلًا بُهْمًا
“Allah akan mengumpulkan para hamba—atau manusia—(pada hari kiamat) dalam keadaan ‘urātan (telanjang), ghurlan (belum dikhitan), dan buhman (tidak memiliki apa-apa).”
Kami bertanya: “Apakah buhman itu?”
Beliau menjawab: “Yaitu tidak membawa sesuatu pun.”
“Kemudian Allah menyeru mereka dengan suara yang didengar oleh orang yang jauh sebagaimana didengar oleh orang yang dekat (dengan seruan): ‘Akulah Raja! Akulah Yang Maha Membalas (ad-Dayyan)! Tidak pantas bagi seorang pun dari penghuni surga untuk masuk surga, sedangkan ada seorang penghuni neraka yang menuntutnya karena kedzaliman. Dan tidak pantas bagi seorang pun dari penghuni neraka untuk masuk neraka, sedangkan ada seorang penghuni surga yang menuntutnya karena kezaliman, hingga Aku menuntaskan baginya dari orang tersebut.`”
Kami bertanya: “Bagaimana (penuntasan itu dilakukan), padahal kami datang kepada Allah dalam keadaan tidak beralas kaki, telanjang, belum dikhitan, dan tidak memiliki apa-apa (buhman)?”
Beliau menjawab: “Dengan kebaikan-kebaikan (al-hasanat) dan keburukan-keburukan (as-sayyi’at).” (HR. Bukhari)
Jabir bin Abdillah, salah satu sahabat yang banyak meriwayatkan hadits dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, mendapatkan informasi tentang sebuah hadits yang belum pernah didengarnya langsung dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Beliau mendapat berita bahwa salah satu sahabat mendengar hadits itu langsung dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Jabir menunjukkan semangat yang tinggi dan haus akan ilmu, ingin mendengar hadits itu dan mendapatkan faedah darinya. Menuntut ilmu memang memerlukan perjuangan. Terkadang sebagian orang malas datang ke majelis ilmu, padahal yang datang ke majelis ilmu sejatinya datang ke taman-taman surga.
Maka, Jabir segera membeli seekor unta. Unta itu digunakan sebagai kendaraan, lalu beliau memasang pelana dan perbekalan yang diperlukan. Beliau pergi menuju Syam. Perjalanan Jabir menuju Syam memakan waktu satu bulan (syahron).
Jarak yang begitu jauh menunjukkan betapa para sahabat menghayati, merenungkan, dan memikirkan pahala perjalanan menuntut ilmu. Perjalanannya saja sudah berpahala.
Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
مَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللَّهُ لَهُ بِهِ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ
“Barang siapa yang meniti jalan menuntut ilmu, maka Allah akan mudahkan bagi dia jalan menuju ke surga.” (HR. Muslim)
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam juga bersabda:
مَنْ خَرَجَ فِى طَلَبُ الْعِلْمِ فَهُوَ فِى سَبِيْلِ اللهِ حَتَّى يَرْجِعَ
“Barangsiapa yang keluar menuntut ilmu, maka dia berada di jalan Allah sampai dia pulang.” (HR. Tirmidzi)
Perjalanan mencari ilmu adalah perjalanan menuju ke surga Allah. Karena Allah akan mudahkan bagi yang meniti jalan itu menuju ke surga, maka perjalanan satu bulan bukanlah masalah bagi orang yang memahami keutamaan tersebut.
Pertemuan dengan Abdullah bin Unais
Setibanya di Syam, Jabir mendapati sahabat yang dimaksud adalah Abdullah bin Unais. Abdullah bin Unais termasuk sahabat Anshar yang ikut Baiatul Aqabah dan sering mendapatkan tugas-tugas berat dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam biasanya mendelegasikan tugas kepada orang yang cakap dan tepat. Misalnya, ketika mengirim delegasi untuk bertemu raja dan negosiasi, beliau memilih orang yang perawakannya indah dan pandai berbicara. Sementara itu, ketika mengirim seseorang untuk membunuh musuh-musuh Islam, beliau memilih seorang pemberani, bijak, dan mengetahui strategi. Abdullah bin Unais adalah sahabat yang diutus Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam untuk membunuh seseorang setelah Perang Uhud.
Kekalahan umat Islam di Perang Uhud, meskipun tidak telak, telah menimbulkan kesombongan orang-orang musyrikin dan membuat suku-suku Arab lain berniat menyerang Madinah, mengira umat Islam lemah. Mereka ingin menjadi sekutu Quraisy dan membela tuhan-tuhan mereka.
Abdullah bin Unais menceritakan, “Aku dipanggil oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, lalu beliau bersabda, ‘Telah sampai berita kepadaku bahwa Khalid bin Sufyan Al-Hudhali sedang menggalang massa untuk memerangiku. Posisi dia sekarang ada di kebun kurma atau di lembah Urnah, di dekat Arafah, Makkah. Engkau datang ke sana, bunuhlah dia.`”
Tugas ini harus diselesaikan dengan cepat, daripada menunggu Khalid datang ke kota Madinah yang dapat menyebabkan peperangan, terbunuhnya banyak sahabat, dan kerugian besar. Lebih baik pentolan ini dibunuh sebelum dia bergerak.
Khalid bin Sufyan tidak diketahui oleh Abdullah bin Unais, sehingga dia memohon kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, “Wahai Rasulullah, gambarkanlah tentang sifatnya agar aku tahu.”
Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menjawab, “Kalau engkau melihat dia, engkau akan ingat setan,” yang berarti dia adalah orang yang menakutkan. Sebagai bukti, “antara engkau dan dia, kau jika melihatnya akan merinding.”
Abdullah bin Unais berkata kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, “Aku tidak pernah takut sama musuh.” Namun Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menegaskan bahwa melihat musuh itu akan membuat Abdullah bin Unais merinding dan ketakutan, karena mungkin perawakannya yang tinggi besar atau wajahnya yang menakutkan.
Abdullah bin Unais berangkat sendirian dari Madinah menuju Makkah, ke tempat yang disebutkan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam di mana Khalid sedang membangun markas dan mengumpulkan orang untuk memerangi kaum Muslimin. Ternyata dia sedang bersama beberapa perempuan yang mencari tempat bermalam.
Ketika itu waktu Ashar. Saat melihat Khalid, tubuh Abdullah bin Unais benar-benar merinding. Ada ketakutan, tetapi dia tetap mendekat. Dia langsung menuju ke Khalid, dan karena waktunya shalat Ashar, dia shalat dalam posisi berjalan dengan memberikan isyarat dengan kepalanya. Ini dilakukan karena kondisi perang, bukan kondisi normal.
Ketika Abdullah bin Unais sampai kepada Khalid, Khalid bertanya, “Siapa engkau?”. Dia menjawab, “Aku salah satu dari bangsa Arab yang mendengar engkau sedang mengumpulkan massa untuk memerangi orang itu. Maka aku datang untuk bergabung.”
Khalid membenarkan, “Iya, betul. Aku sedang melakukan itu.” Akhirnya, Abdullah bin Unais berjalan bersama Khalid bin Sufyan. Obrolan mereka mulai enak, dan mereka mulai bertukar bait-bait syair. Ketika Khalid mulai lengah, Abdullah bin Unais mengambil pedangnya dan membunuh Khalid.
Dia keluar meninggalkan Khalid. Di beberapa riwayat disebutkan dia membawa kepala Khalid sebagai bukti kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Perempuan-perempuan itu pun menangis dan Abdullah bin Unais pergi.
Setelah perjalanan panjang, setibanya di Madinah, Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melihat Abdullah bin Unais dan bersabda, “Ini wajah orang yang membawa keberuntungan.” Abdullah bin Unais berkata, “Aku telah membunuh dia, Ya Rasulullah.” Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Benar.”
Kemudian Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menyuruhnya masuk ke rumah dan memberinya tongkat seraya berpesan, “Engkau pegang tongkat ini di sisimu wahai Abdullah bin Unais.”
Abdullah bin Unais membawa tongkat itu dan bertemu dengan orang-orang. Orang-orang bertanya mengenai tongkat itu, namun jawaban yang diberikan adalah bahwa tongkat itu diberikan dan disuruh pegang oleh Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Abdullah bin Unais kemudian kembali menjumpai Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam untuk bertanya tentang tujuan dari pemberian tongkat tersebut.
Abdullah bin Unais bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, “Mengapa Engkau berikan kepadaku tongkat ini?” Dijawab bahwa tongkat itu sebagai tanda antara dia dengan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pada hari kiamat.
Abdullah bin Unais mengikat tongkat itu bersama pedangnya dan membawanya ke mana pun dia pergi. Sampai ketika dia wafat, dia meminta tongkat itu dimasukkan ke dalam kain kafannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad bin Hambal.
Penyampaian Hadits Hari Kiamat
Ternyata, hadits yang didengarkan oleh Jabir bin Abdillah dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tentang kejadian di hari kiamat itu adalah yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Unais. Jabir kemudian menuju ke rumah Abdullah bin Unais di Syam, lalu dia mengirim orang untuk menyampaikan kepada Abdullah bin Unais bahwa ada Jabir di pintu, dan dia menunggu di pintu.
Setelah mengetahui yang datang adalah Jabir bin Abdillah, Abdullah bin Unais keluar. Maka, dia memeluk Jabir bin Abdillah. Inilah saat mereka saling memeluk, yaitu karena rindu setelah lama tidak berjumpa.
Jabir menyampaikan maksud kedatangannya. “Ada sebuah hadits yang sampai kepadaku dan aku belum mendengar hadits itu. Aku melakukan perjalanan panjang ini karena aku khawatir boleh jadi aku yang mati duluan atau engkau yang mati duluan.”
Perjalanan yang dilakukan Jabir bin Abdillah bukanlah hal sia-sia. Hadits itu dapat mengangkat derajat seseorang.
Allah berfirman:
يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ
“Niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.” (QS. Al-Mujadilah [58]: 11)
Abdullah bin Unais kemudian menyampaikan, “Aku mendengar Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
يَحْشُرُ اللَّهُ الْعِبَادَ – أَوْ النَّاسَ – عُرَاةً غُرْلًا بُهْمًا
“Allah akan mengumpulkan para hamba—atau manusia—(pada hari kiamat) dalam keadaan telanjang, tidak berkhitan, dan buhma (tidak membawa apa-apa).” (HR. Bukhari dalam Adabul Mufrad)
Di riwayat lain, ‘Aisyah Radhiyallahu Ta’ala ‘Anha mendengarkan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam juga bersabda tentang manusia dibangkitkan dan dihimpun dalam kondisi telanjang. Aisyah bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah laki-laki dan wanita saling melihat?”
Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menjawab, “Kondisinya sangat dahsyat dan menakutkan, orang tidak memikirkan untuk melihat kepada orang lain.” Yang ada dalam benak mereka adalah dirinya sendiri.
Download MP3 Kajian
Podcast: Play in new window | Download
Artikel asli: https://www.radiorodja.com/55732-bab-al-muanaqah-berpelukan/